Apakah Anda menyadari hanya dengan mengklik retweet, forward atau share sebuah pesan yang belum jelas kebenarannya di media sosial Anda telah melakukan ghibah, fitnah, atau pun namimah? Untuk itu melalui tulisan ini, penulis mengajak pembaca pada umumnya dan khususnya guru Indonesia untuk bijaksana dan berperan aktif melawan hoax. Mengapa guru? karena jumlah guru di Indonesia sangat besar, Badan Pusat Statistik merilis data pada tahun 2016 jumlah guru bertatus ASN di seluruh Indonesia sebanyak 1.712.848 orang, jika ditilik dari nomor unik, jumlah guru yang ber NUPTK pada tahun 2015 mencapai 3.015.315 orang. Angka tersebut sangat menjanjikan untuk keberhasilan perang melawan hoax. Bila guru dapat mengedukasi siswa, keluarga, dan kolega dengan baik, maka akan sangat besar dan luas cakupannya.
Sebuah media online menulis Indonesia dalam darurat hoax, tak kurang Menteri komunikasi dan Informatika Rudiantara mengajak masyarakat Indonesia berperang melawan hoax. Deklarasi anti-hoax pun serentak digelar di Jakarta dan lima kota lain seperti Bandung, Semarang, Solo, Surabaya, dan Wonosobo. Alih-alih hoax berkurang, justru hoax makin mengkhawatirkan.
Kata hoax muncul akhir abad ke-18 diduga dari dari kata “hocus” yang artinya “untuk menipu”. Hocus merupakan kependekan dari hoces corpus-istilah yang biasa digunakan pesulap atau penyihir sebagai mantra untuk menyatakan semua yang dilakukan benar-benar nyata. Popularitas hoax mulai menanjak setelah pemutaran film berjudul The Hoax tahun 2006. Fenomena hoax mulai terasa sejak tahun 2012 pada pilkada Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang awalnya iseng memberikan kabar bohong yang dipercaya oleh masyarakat.
Masih segar dalam ingatan kita hoax yang beredar di media sosial mengenai produk makanan dan minuman yang dapat mengakibatkan pengerasan otak (kanker otak), diabetes dan pengerasan sumsum tulang belakang. Berita tersebut nampak seperti pesan kesehatan yang bisa dipercaya karena menyertakan organisasi profesi dokter di Indonesia dan nama salah seorang dokter yang belakang diketahui namanya dicantut oleh penyebar hoax.
Konten hoax kerap berkaitan dengan SARA, politik, isu-isu strategis dan sensitif, bahkan persaingan bisnis. Tidak sedikit orang terpengaruh dengan mempercayai begitu saja berita bohong tersebut tanpa melakukan tabayyun atau mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya. Tentu saja pihak yang dijadikan objek pemberitaan hoax mengalami kerugian baik secara imateri yaitu nama baik dan secara materi yaitu berkurangnya kesempatan/peluang mendapatkan bisnis bagi para pengusaha karena hilangnya kepercayaan dari masyarakat.
Hoax berbanding lurus dengan luasnya penggunaan media sosial, hoax menyasar semua kalangan masyarakat termasuk guru dan siswa. Secara langsung mapun tidak langsung hoax telah merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hoax harus kita kita perangi agar tidak menimbulkan akibat fatal bagi semua.
Hoax sebagai komoditas tubuh subur karena ada respon pembaca. Sebagian besar pembaca hoax langsung meyakininya dan tanpa berpikir panjang meneruskan kepada orang lain, yang diinginkan oleh hoax maker hanyalah tercapai maksud propagandanya, tidak memikirkan dampak negatif dari perbuatannya. Pihak penyedia layanan media sosial telah berupaya mengendalikan hoax, dan pemerintah telah mengeluarkan warning untuk membekukan media sosial yang tidak mengendalikan hoax.
Hoax sekilas nampak seperti berita benar karena biasanya disertai dengan data-data atau deskripsi yang meyakinkan, ada hoax yang mudah dibantah kebenarannya dan ada pula yang sulit diidentifikasi. Hoax yang sulit dikenali berisi 80 persen fakta dan 20 persen fiksi, hoax jenis ini dibuat oleh orang-orang yang benar-benar ahli serta berkemampuan tinggi.
Untuk itu, guru perlu memiliki pemahaman yang mendalam dan wawasan yang luas mengenai dunia telekomunikasi dan informasi sehingga tidak begitu saja mempercayai hoax. Dirangkum dari berbagai sumber, aspek yang dapat dicermati dari hoax antara lain : Judul berita bersifat provokatif, biasanya diawali dengan kata ‘Terungkap’, ‘Awas’, ‘Ternyata’, ‘Wow’ dan lain sebagainya. Berita hoax umumnya tidak mencantumkan sumber berita yang tidak valid atau tidak bisa diverifikasi, jika ada biasanya merupaka link yang tidak dapat diakses, atau pemuat berita bukan media yang memiliki kredibilitas. Berita juga cenderung tidak memuat dua sisi yang berlawanan atau “cover both side” dan ditulis dengan nada tendensius, penuh prasangka dan memojokkan pihak lain. Berita hoax kerap menampilkan narasumber anonim
Kekuatan destruktif hoax sangat dahsyat dalam merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Pembaca hoax yang telah memilik sentimen negatif akan menjadikan hoax sebagai dasar pembenaran sikap negatif atau tindakan merugikan. Akibat hoax timbul kecurigaan, kebencian, bahkan permusuhan yang membahayakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dari beberapa sumber dirangkum dampak negatif hoax antara lain : Disintergrasi bangsa; Menyulut kebencian, kemarahan, hasutan kepada orang banyak untuk pihak tertentu; Membentuk persepsi, memanipulasi alam pikiran atau kognisi, dan mempengaruhi langsung perilaku agar memberikan respon sesuai yang dikehendaki oleh pelaku propaganda ; Menimbulkan kepanikan yang mengakibatkan masyarakat menjadi resah atas isu yang diangkat hoax ; Kerugian materi dan immateri dari objek hoax
Guru memiliki peran yang sangat strategis dalam mengedukasi siswa, keluarga dan kolega untuk berperang melawan hoax. Untuk menunjang peran tersebut, guru harus memiliki wawasan yang luas, cara berpikir logis, dan hati yang bersih bebas dari rasa curiga dan sentimen negatif terhadap siapapun. Guru perlu memiliki sikap terbuka menerima perubahan dan selalu memihak pada kebenaran serta yang tidak kalah penting guru tidak boleh gagap teknologi dan informasi.
Dengan posisi yang strategis, peran guru di lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, atau di sekolah sangat dibutuhkan dan dapat diandalkan bila dilibatkan oleh pemerintah dalam perang melawan hoax.
Pemerintah melalui kementerian terkait telah membuat regulasi mengenai media sosial. Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan Fatwa Nomor 24 Tahun 2017 tentang pedoman bermuamalah melalui media sosial. Pada fatwa MUI tersebut dijelaskan bahwa bemuamalah melalui media sosial tidak boleh melanggar ketentuan agama dan perundang-undangan, tidak mempercayai begitu saja informasi yang diterima karena bisa saja memilik kemungkinan benar atau salah, yang baik belum tentu benar, dan yang benar belum tentu bermanfaat, yang bermanfaat belum tentu cocok untuk disampaikan ke ranah publik, dan tidak semua informasi yang benar boleh dan pantas untuk disebar ke ranah publik.
Lebih lanjut, dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 24 Tahun 2017 terdapat pedoman bahwa setiap orang yang memperoleh informasi melalui media sosial baik yang positif maupun negatif tidak boleh menyebarkannya sebelum diverifikasi atau dilakukan proses tabayyun serta dipastikan kemanfaatannya.
Proses tabayyun yang dilakukan juga telah diatur yaitu pastikan sumber (sanad), kebenaran konten (matan), dan konteks serta latar belakang saat informasi tersebut disampaikan. Cara memastikan kebenaran informasi dapat dilakukan dengan bertanya kepada sumber informasi jika diketahui, dan melakukan klarifikasi pada pihak yang memiliki otoritas dan kompetensi.
Upaya tabayyun dilakukan secara tertutup kepada pihak yang terkait, tidak dilakukan secara terbuka di ranah publik yang bisa menyebabkan konten/informasi yang belum jelas kebenarannya tersebut beredar luas ke publik. Informasi yang bersifat pujian, sanjungan dan atau hal-hal positif tentang seseorang atau kelompok belum tentu benar, karenanya perlu dilakukan tabayyun.
Guru berperan sangat penting dalam mengedukasi siswa baik di sekolah maupun di luar lingkungan sekolah diantaranya : Sekolah dapat berperan aktif melalui semua pelajaran, terutama mata pelajaran Agama, PKn, TIK, dan Bimbingan konseling dengan memasukkan materi tentang menyikapi kemajuan teknologi informasi dan komunikasi serta penggunaan teknologi informasi yang bijaksana ; melalui penguatan pendidikan karakter; Melalui hiden kurikulum yaitu menyisipkan konten tentang etika bermedia sosial, melalui grup media sosial sekolah guru menunjukkan sikap dewasa dalam bermedia sosial khususnya dalam menanggapi hoax, menunjukkan keteladanan bagi siswa dengan tidak ikut-ikutan menyebarkan hoax, membantu siswa memiliki sikap dewasa dalam menyikapi hoax dengan memberi pemahaman dan arahan yang baik.
Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat menjadi orang-orang terdekat, guru sebagai bagian dari anggota keluarga harus memperhatikan, melindungi, dan mendidik keluarganya. Dalam keluarga, guru dapat berperan sebagai anak bagi orang tuanya dan orang tua bagi anak-anaknya, bisa menjadi adik atau kakak atau peran lainnya. Dengan peran tersebut, peran guru dalam keluarga menjadi lebih luas. Misalnya melalui perbincangan santai atau interaksi dalam kehidupan sehari-hari guru dapat menyisipkan pesan anti hoax secara lebih leluasa. Pesan yang disampaikan berkaitan dengan media sosial bisa berupa hukum menyebar berita bisa menjadi ghibah atau gosip jiha berita yang disampaikan benar, tetapi objek pemberitaan mungkin tidak menghendaki pemberitaan tersebut. Pesan bisa menjadi fitnah bila ternyata isinya kebohongan, dan pesan dapat pula menjadi namimah atau adu domba bila isinya dapat menimbulkan perselisihan antar kelompok di masyarakat.
Dalam menggunakan media sosial, kolega yang kita tentu memiliki karakter dan kebiasaan masing-masing. Dapat dipastikan dari setiap grup media sosial ada diantara mereka yang punya kebiasaan mem-forward atau mengirimkan kembali informasi yang dipandang bermanfaat bahkan berita yang belum diketahui kebenarannya (hoax). Terhadap hoax yang dikirimkan kolega tersebut, guru harus menyikapinya dengan bijaksana agar tidak terjadi perdebatan yang tidak berujung yang akhirnya menimbulkan ketidakharonisan.
Diskusi yang santai tapi ilmiah dan mengedepankan logika serta dasar yang kuat dapat dilakukan apabila memungkinkan. Apabila dipandang justru dapat menimbulkan permasalahan menjadi lebih luas dan panjang yang berujung pada perdebatan tanpa solusi, maka lebih baik kita tidak melibatkan diri kedalam hoax tersebut dan jangan berpolemik baik secara langsung maupun melalui media sosial.
Suatu ketika Penulis mendapat pesan hoax melalui media sosial, pada awal kemunculannya seperti kebanyakan pengguna media sosial lainnya tidak menyadari sedang diberi mantra “hocus pocus” oleh pesulap informasi di dunia maya. Penulis mempercayai begitu saja informasi tersebut termasuk berita mengenai bahaya aspartam karena secara meyakinkan menyertakan sumber yang secara otoritas memiliki kompetensi di bidangnya.
Seiring berjalannya waktu, berdasarkan pengalaman serta edukasi yang intensif dari pemeritah melalui pihak yang memiliki otoritas, penulis menyadari dan memahami bahwa setiap informasi memiliki kemungkinan benar atau salah, informasi yang baik belum tentu benar, informasi benar belum tentu bermanfaat, informasi yang bermanfaat belum tentu cocok disampaikan ke ranah publik, dan tidak semua informasi yang benar boleh dan pantas disebar ke ranah publik.
Berdasarkan pemahaman tersebut yang biasa dilakukan oleh penulis yaitu tidak begitu saja mempercayai setiap informasi yang disebar melalui media sosial selalu melakukan verifikasi dan tabayyun dan berhati-hati dalam menyikapi sebuah berita. Penulis membiasakan diri menjadi rem penyebaran hoax dengan cara tidak mengirimkan kembali hoax.
Guru harus meningkatkan kompetensi serta penguasaan teknologi informasi dan komunikasi dan kedewasaan dalam menggunakan teknologi. Mari kita bersatu padu berperang melawan hoax, dukungan pemeritah dan edukasi pihak terkait dapat menjadikan guru pejuang anti hoax andalan. Dengan posisi strategis guru Indonesia sebagai pendidik, anggota keluarga, dan anggota masyarakat, didukung oleh semua eleman masyarakat Indonesia kita optimis bisa mengalahkan hoax. Akhirnya mari kita tanyakan pada diri sendiri : Masih mau jadi agen penyebar berita hoax?